Selasa, 20 Oktober 2009

TUGAS PTIK 2009

Contoh Implikasi Teknologi Komunikasi dalam Bidang Penyiaran

www.radioclinic.com


Apr
08Standarisasi dan Sertifikasi Lembaga Penyiaran
Oleh Alex Santosa Leave a Komentar
Kategori: program dan sales
Tags: harga, ijin radio, iklan, KPI, kpid, news, news director, pacaran, postel, pricing, produser, PRSSNI, radio, sdm, sertifikasi, siaran, standarisasi, talkshow, training, tribun timur makasar, upah

Idealisme dan cita-cita kadang terlalu indah untuk dibayangkan jika pada proses pencapaiannya tidak melihat kenyataan. Terlalu lama melihat langit di atas membuat kita melupakan tanah tempat kita berpijak. Terlalu lama membaca teori di buku membuat kita bingung mengawali kerja nyata.

Dalam tulisannya di Tribun Timur Makassar 31 Maret 2008 (bisa dibaca dibawah), Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Sulawesi Selatan (KPID Sulsel) – Andi Taddampali – memaparkan keinginan lembaganya untuk meningkatkan kualitas lembaga penyiaran di daerahnya melalui standarisasi dan sertifikasi. Cita-cita yang harus didukung oleh insan radio!

Tapi nampaknya apa yang diharapkan oleh KPID Sulsel tidak akan dengan mudah terwujud.Bukannya disambut dengan gembira oleh insan radio, sertifikasi dan standarisasi lembaga penyiaran yang diusung oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), selama ini justru dirasa menjadi beban. Jika ternyata sebuah stasiun radio diketahui belum bisa memenuhi standar, apa yang akan dilakukan oleh KPI? Apakah akan ada bimbingan dan bantuan? Jika tidak ada tindakan nyata, dari KPI untuk meningkatkan kualitas lembaga penyiaran, standarisasi dan sertifikasi hanya akan menjadi golok untuk memancung sekian banyak radio yang saat ini hidup segan mati tak mau.

Standar seperti apa yang dijadikan acuan oleh KPI? Radio di ibukota atau di kota besar? Perlu diingat bahwa struktur, budaya, pengelolaan hingga kemampuan radio disetiap daerah berbeda. Harus disadari bahwa mayoritas stasiun radio di Indonesia terutama di daerah, didirikan oleh perorangan, keluarga dan antar teman atau kelompok. Hanya sedikit radio di Indonesia yang sejak awal berdiri ditangani oleh perusahaan besar. Pengelolaan radio sangat unik, sangat personal tidak bisa disamakan dengan mini market atau restoran waralaba. Menyehatkan tidak harus dengan mengamputasi.

Beberapa masalah yang dihadapi stasiun radio yang dibahas dalam tulisan Andi Taddampali:

masalah SDM
Sebagian besar sumber daya mannusia dalam sebuah stasiun radio, berasal dari berbagai latar belakang pendidikan. Syarat untuk menjadi, misalnya seorang penyiar, yang dibutuhkan bukan hanya pendidikan formal, tapi lebih kepada bakat dan kemampuan dia untuk siaran. Seorang tenaga penjualan juga tidak harus lulusan dari fakultas ekonomi, yang penting dia bisa jualan, bisa bicara, punya banyak kenalan dan lebih bagus lagi jika sudah memiliki akses ke pengusaha-pengusaha yang diharapkan bisa menjadi klien dari radio tersebut. Hal ini tidak menjadi masalah karena masing-masing radio sejak awal pasti telah melakukan seleksi dan pelatihan / training terhadap sumber daya manusianya. Untuk posisi umum seperti ini saja, sebuah radio pasti tidak dengan gampang menunjuk orang. Apalagi untuk posisi yang berada diatasnya seperti produser, program director, manager dan lain sebagainya, pasti dipilih melalui pengalaman, penilaian dan seleksi yang serius. Saya memiliki produser dan penyiar hebat di daerah yang mengawali karirnya dari seorang office boy! Buktinya mereka bisa! Saya juga pernah mempekerjakan beberapa lulusan S2 sebagai produser dan nyatanya tidak semuanya berhasil.

Kalau begitu apa perlunya melakukan sertifikasi terhadap SDM lembaga penyiaran? Bukannya hal ini nantinya akan menjadi “biaya” bagi mereka? Kalau memang kualitas SDM penyiaran dianggap kurang memenuhi “standard” KPI, kenapa tidak dilakukan pelatihan saja? Tidak hanya melalui sertifikasi…, masih banyak hal yang bisa dilakukan untuk memajukan lembaga penyiaran.

Efisiensi juga dilakukan oleh stasiun radio. Jika beberapa pekerjaan bisa ditangani oleh seorang crew, mengapa harus merekrut beberapa orang lagi? Selain bisa siaran, seorang penyiar bisa juga menangani produksi dan menjadi reporter. Bahkan tidak jarang seorang penyiar yang bisa menjadi sales person.

Masalah salary, tentunya sangat tergantung perkembangan industri radio dimasing-masing daerah, kemampuan dari perusahaan tersebut dan tentunya dari banyak sedikitnya pemasang iklan. Tentunya tidak ada yang mau hidup mewah tapi radionya cepat bangkrut.

masalah Penjualan / Iklan
Menjual radio tidak semudah yang dibayangkan. Amat sangat tergantung pada program yang ditawarkan, jumlah pendengar, jangkauan pancaran dan popularitas dari radio tersebut. Jangankan iklan nasional yang berasal dari biro-biro iklan di Jakarta. Untuk menawarkan iklan kepada perusahaan di daerah, belum tentu gampang jika calon klilen belum menyadari pentingnya berpromosi.

KPID Sulsel akan mengeluarkan standar harga iklan minimal. Untuk apa? Ini bisnis bung! Penentuan harga atau PRICING adalah bagian dari strategi bisnis. Orang bebas menentukan harga, sama bebasnya dengan orang menawar. Mereka sudah punya perhitungan kapan mau jual murah, kapan jual mahal bahkan kapan memberikan kesempatan pasang iklan gratis kepada klien mereka. Apa iya, dengan menentukan standar harga iklan minimal, pemasukan radio siaran akan meningkat? Saya rasa jawabnya TIDAK. PRSSNI saja kadang menjual iklan bersama yang harus diputar diseluruh radio yang menjadi anggotanya dengan harga yang jauh lebih murah.

masalah Perijinan
Masalah yang satu ini adalah masalah yang sangat klise yang harus dibereskan. Mengapa perijinan mahal? Apakah sudah sesuai dengan aturan? Bagaimana dengan radio-radio tanpa ijin apakah sudah ditertibkan? Masih ada kerancuan pemberian ijin antara Dirjen Postel dan Pemerintah Daerah karena masing-masing lembaga memiliki wewenang mengeluarkan ijin radio siaran, dan sekarang ada KPI yang juga ikut andil dalam memberikan ijin.


Tribun Timur Makassar – Senin, 31-03-2008

Menyehatkan Industri Penyiaran
Andi Taddampali (Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Sulawesi Selatan)

DALAM beberapa minggu terakhir ini, kantor Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Sulawesi Selatan (Sulsel) disibukkan dengan sebuah rencana besar, yakni rencana dikeluarkannya Peraturan KPID Sulsel tentang Standarisasi dan Sertifikasi Lembaga Penyiaran.

Dalam hal ini, KPID Sulsel akan membuat tiga buah peraturan, yakni Peraturan tentang Standarisasi dan Sertifikasi Lembaga Penyiaran, Peraturan tentang Standarisasi Ketenagakerjaan dan Upah Minimum Lembaga Penyiaran, dan Peraturan tentang Standarisasi Minimum Harga Iklan Lembaga Penyiaran.
Rencana itu merupakan wujud tugas dan kewajiban KPID Sulsel sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Tujuannya adalah untuk memberikan penguatan organisasi dan sumber daya manusia (SDM) serta terciptanya iklim usaha yang sehat bagi lembaga penyiaran.

Salah satu masalah lembaga penyiaran di Sulsel adalah belum adanya keseragaman dalam hal standar organisasi dan kualitas SDM yang dimiliki. Selain itu, banyak lembaga penyiaran di Sulsel yang belum dikelola secara profesional.

Dalam beberapa kali penyelenggaraan Evaluasi Dengar Pendapat (EDP) oleh KPID Sulsel, terungkap permasalahan serius terkait dengan SDM yang menjadi batu sandungan dalam pengembangan industri radio di Sulsel, yakni SDM dari keluarga sendiri, pembajakan dari radio atau media lain, pekerja paruh waktu, dan disiplin ilmu yang tidak sesuai. Sedangkan dari sisi industri, radio di Sulsel juga memiliki masalah yang serius. Banyak yang masih menerapkan manajemen keluarga, dumping harga iklan, iklan sentralistik, sampai persoalan regulasi dan perizinan.

Sebatas Perizinan

Di Indonesia, regulasi dan perizinan di bidang penyiaran belum mampu membuat industri penyiaran tumbuh dengan baik. Banyak kalangan, khususnya para praktisi penyiaran, menilai bahwa sejauh ini regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah masih seputar perizinan. Belum menyentuh pada pembinaan dalam rangka pengembangan SDM dan industri penyiaran, terutama bagi lembaga penyiaran di daerah. Di sinilah tantangan KPID Sulsel untuk membuat regulasi yang mampu menyehatkan industri penyiaran di Sulsel dengan mengeluarkan peraturan yang mampu mendorong peningkatan organisasi, manajemen, SDM, dan teknis sesuai standar profesi penyiaran.

Sedangkan dari aspek kompetensi, lembaga penyiaran perlu sertifikasi untuk jabatan-jabatan tertentu yang membutuhkan keahlian khusus seperti program director, news director, produser, dan teknisi.
Dengan demikian, tenaga yang menduduki jabatan tersebut memiliki pengetahuan, keterampilan, kompetensi, dan kualifikasi yang sesuai dengan standar profesi penyiaran. Sertifikasi ini akan dilakukan oleh organisasi penyiaran, perguruan tinggi, dan KPID Sulsel. Pasalnya, dalam sebuah industri penyiaran harus ada SDM yang menggawangi beberapa bidang penting, khususnya bagi radio yang memproduksi program news dan talkshow. Radio dengan segmen ini harus mempunyai program director yang membawahi news director, music director, dan talkshow department. Sementara untuk penyajian konten dituntut adanya produser.
Misalnya, tanggung jawab utama dalam perencanaan (planning), produser harus menentukan topik atau tema yang akan diangkat, pemilihan narasumber, sampai pada round down acara.
Begitu juga dalam sebuah talkshow, saat sesi tanya jawab dari pendengar, baik melalui telepon maupun SMS. Dalam hal ini, produser juga harus bertindak sebagai gate keeper dengan menyaring telepon atau SMS yang masuk.

Pascadiskusi berlangsung, tugas produser selanjutnya adalah melakukan evaluasi bersama dengan pihak manajemen. Dari hasil evaluasi itu selanjutnya akan muncul rekomendasi, baik internal maupun eksternal.

Kualitas penyajian konten di lembaga penyiaran, khususnya radio, juga sangat ditentukan oleh penyiar. Latar belakang pendidikan serta seberapa luas pengetahuannya terhadap satu masalah akan lebih meningkatkan kualitas penyajian sebuah program. Penyiar juga harus memahami konsep-konsep dasar hubungan dengan pendengar, yakni hubungan kesetaraan dan dialogis atau one to one level serta harus mampu menyampaikan sesuai dengan segmen pendengarnya. Mengingat kompleksitas masalah yang akan dihadapi serta risiko pencederaan ruang publik, perlu adanya sertifikasi untuk masing-masing jabatan itu.

Menjual Program

KPID Sulsel juga berharap peningkatan kompetensi SDM itu akan diikuti oleh peningkatan
kesejahteraan bagi insan-insan penyiaran. Untuk itu perlu ada aturan khusus terkait dengan tenaga part time, freelance, full time, dan magang.

Artinya, mereka yang memiliki kemampuan dan komitmen untuk berkarier di industri penyiaran patut memperoleh standar penghasilan minimal sama dengan industri lainnya sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Jika lembaga penyiaran memperhatikan aspek kesejahteraan ini, maka insan-insan penyiaran akan berkerja lebih profesional.

Yang tak kalah pentingnya, KPID Sulsel juga akan mendorong setiap lembaga penyiaran untuk
meningkatkan penghasilan dari iklan. Karena itu KPID Sulsel akan mengeluarkan standar minimal harga iklan. Standarisasi minimal harga iklan ini diharapkan akan mendorong lembaga penyiaran untuk tumbuh kuat dan menciptakan iklim persaingan yang sehat dan tidak terjadi lagi
praktik dumping yang akan membuat lembaga penyiaran di Sulsel semakin terpuruk.

Terkait dengan iklan, radio-radio di Sulsel juga telah masuk pada jebakan share iklan nasional dan broker iklan. Padahal, share iklan nasional untuk radio di Sulsel sangat minim dan perolehannya juga sulit. Di sisi lain, banyak potensi iklan lokal yang semakin berkembang dan belum digarap dengan baik. Euforia pemilihan kepala daerah (pilkada), misalnya, menjadi lahan iklan yang potensial, baikdari partai politik, tim sukses, sampai ucapan selamat.

Begitu juga dengan perusahaan-perusahaan swasta, khususnya BUMN, yang akan melakukan sosialisasi secara lokal. Apabila digarap secara maksimal, nilai iklan yang diraup niscaya tinggi.
Fenomena ini seperti pepatah, kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak. Harus dipahami, bahan jualan radio dan televisi adalah program yang berkualitas, bukan harga iklan yang murah. Bila penjual rambutan di Jl AP Pettarani saja dapat membuat kesepakatan tentang harga minimal rambutan per kilogram, mengapa lembaga penyiaran tidak bisa membuat kesepakatan harga minimal iklan?

Salah satu rangkaian dalam membahas peraturan itu adalah dengan membentuk tiga Tim Perumus Standarisasi Lembaga Penyiaran yakni Tim Perumus Standarisasi dan Sertifikasi Lembaga Penyiaran, Tim Perumus Standarisasi Ketenagakerjaan dan Upah Minimum Lembaga Penyiaran, dan Tim Perumus Standarisasi Minimum Harga Iklan Lembaga Penyiaran.

Rangkaian lainnya adalah lokakarya standarisasi lembaga penyiaran yang dihadiri oleh segenap
stakeholder lembaga penyiaran di Sulsel serta rapat pleno standarisasi lembaga penyiaran yang dihadiri oleh segenap tim perumus pada tanggal 31 Maret 2008. Hasil lokakarya dan rapat pleno itu
akan menentukan perkembangan draft peraturan-peraturan KPID Sulsel tentang Standarisasi dan Sertifikasi Lembaga Penyiaran.

Harus dipahami, jumlah frekuensi terbatas dan merupakan aset publik. Tidak setiap lembaga yang mau atau mampu bersiaran bisa mendapat jatah. Penggunaan frekuensi harus diatur supaya tidak saling bentur. Tetapi faktanya di lapangan justru lebih dari saling bentur. Para pengguna sudah saling mematikan. Bahkan banyak pihak yang merasa frekuensi adalah aset pribadi yang bisa diwariskan, disewakan, bahkan diperjualbelikan dengan menyiasati hukum.

Penggunaan frekuensi radio yang merupakan milik publik mengharuskan penyiaran dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Ads by Google
Lowongan CPNS 2009
Lowongan CPNS 2009 Kententuan & Persyaratan CPNS
www.ferrichow.comUsaha Kecil Uang Melimpah
tabungan Rp80rb di BCA/Mandiri hasilkan Uang juta/milyaran. Mudah.
www.AsiaKita.com/RianisaUang Halal di ATM BCA
Cara Mudah Dpt Uang Jutaan bahkan Milyaran dari Menabung 80rb di BCA
www.asiabersama.com/bcaMencari lelaki lajang
Bertemu pria lajang mencari jodoh Cobalah pelayanan chat gratis kami!
www.IndonesianCupid.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar